-->
BLANTERWISDOM101

Makalah Filsafat Hukum Islam

4/14/2019

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM
“Dasar Pemikiran Tentang Hukum Darurat,
Makna Penting Hukum Darurat, Batasan-Batasan”





Disusun Oleh :

Ahmad Guzali



WEB KALONG
www.webkalong.blogspot.com
2019




KATA PENGANTAR


Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya saya mampu untuk menyelesaikan makalah saya dengan judul “Dasar Pemikiran Tentang Hukum Darurat, Makna Penting Hukum Darurat, Batasan-Batasan” ini.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati saya meminta kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya selanjutnya dapat saya revisi kembali. Karena saya sangat menyadari, bahwa makalah yang telah saya buat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Saya ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah mendukung serta membantu saya selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya makalah ini.
Demikianlah yang dapat saya haturkan, saya berharap supaya makalah yang telah saya buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Banjarbaru, 11 April 2019

Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.. i
DAFTAR ISI. ii
BAB I      PENDAHULUAN.. 1
A... Latar Belakang. 1
B.... Rumusan Masalah. 1
BAB II    PEMBAHASAN.. 2
A... Pengertian Darurat 2
1.... Definisi darurat menurut pengertian bahasa: 2
2.... Definisi darurat dalam pengertian syariat: 2
B... Kedudukan Kaidah. 3
C... Dalil Kaidah. 3
D... Makna Kaidah. 4
E... Penerapan Kaidah. 5
F.... Syarat Darurat 5
G... Pengecualian Kaidah. 7
BAB III   PENUTUP.. 8
A... Kesimpulan. 8
B... Saran. 8
DAFTAR PUSTAKA.. 9





BAB I PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang

Hukum islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulmengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya.
Adapun prinsip-prinsip hukum islam yang patut disebutkan disini yaitu : menyedikitkan beban, diciptakan secara bertahap, memperhatikan kemaslahatan manusia, dan mewujudkan keadilan yang merika.
hukum islam bertitik tolak dari prinsip akidah islamiyah : prinsip hubungan dengan Allah SWT., prinsip khitbah kepada Allah SWT., prinsip hubungan akidah dengan akhlak karimah, prinsip kebaikan dan kesucian jiwa, prinsip keselarasan, prinsip persamaan, prinsip penyerahan, prinsip toleransi, prinsip kemerdekaan dan kebebasan, prinsip ta'awun

B.   Rumusan Masalah

            1.  Apa yang dimaksud dengan hukum darurat?
            2. Bagaimana kedudukan hukum darurat?
            3. Apa saja dalil yang memperbolehkan hukum darurat?
            4. Apa makna dari hukum darurat?
            5. Apa saja syarat yang memperbolehkan hukum darurat?




BAB II PEMBAHASAN


A.  Pengertian Darurat

1.    Definisi darurat menurut pengertian bahasa:
Kata Al jurjani “dlarurat itu berasal dari kalimat adh-dharar yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Menurut ibnu Al Mandzur, makna dari al idhthiraar ialah membutuhkan sesuatu. Sedangkan menurut pendapat para ulama ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa makna darurat adalah kebutuhan yang sangat. Dan makna kalimat al idhthirar ila asy-syai’ adalah al ihtiyaj ilaihi yang berarti membutuhkan pada sesuatu. Jadi, darurat adalah sebuah kalimat yang menunujukan atas arti kebutuhan atau kesulitan yang berlebihan
2.    Definisi darurat dalam pengertian syariat:
Darurat memiliki beberapa definisi yang menurut para ulama ahli fiqih maknanya hampir sama. Diantaranya sebagai berikut:
a.    Menurut Al Hamawi dalam catatan pinggir (hasyiyah) atas kitab “Al Asybaah Wannadzaair” oleh ibnu najim, “darurat ialah posisi seorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka ia bisa mati atau nyaris mati. Posisi seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan.
b.    Menurut Abu Bakar Al Jashsash, “makna darurat disini ialah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan.
c.    Menurut Ad-Dardiri dalam Asysyarhushshaghir, “darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.”
d.   Menurut sebgian ulama dari madzhab maliki, “darurat ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
e.    Menurut As-Suyuthi, “darurat ialah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.”
f.     Menurut ulama syafi’iyah, darurat adalah rasa kuatir akan terjadinya kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit atau semakin lamanya sakit atau terpisahnya dengan rombongan seperjalanan, atau kuatir melemahnya kemampuan berjalan atau mengendarai jika ia tidak makan dan ia tidak mendapatkan yang halal untuk dimakan yang ada hanya yang haram, maka dikala itu ia mesti makan yang haram itu.

B.   Kedudukan Kaidah

Ulama bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.

C.  Dalil Kaidah

Sebagaimana kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran. Di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”[QS. Al-An’am 119]
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”[QS. Al-Baqarah 173]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika mengomentari kaidah ini, beliau mengutip dalil yang menjadi dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang terlarang dalam keadaan darurat, dengan firman Allah,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
“Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[QS. Al-Ma’idah: 3][ Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2. Halaman 76]
Di antara landasan kaidah ini dari hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.”[HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158]

D.  Makna Kaidah

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.[Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 80]
Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.[Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 256]

E.   Penerapan Kaidah

Di antara penerapan kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
  1.       Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali  dengannya.
  2.       Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat sangat.
  3.       Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa.
  4.       Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat selainnya.
  5.      Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bisa menyelamatkan diri, keluarga, dan hartanya.
  6.    Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang yang berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan ia dalam keadaan mampu.

F.   Syarat Darurat

Namun perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah ini. Di antara lain:
1.      Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.
2.      Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya dari si pengembala.
3.      Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.

4.      Keharaman yang ia lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.

5.      Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan mudarat.
Seorang dokter ketika mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.
Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.

G.  Pengecualian Kaidah

Di antara pengecualian kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk kafir, membunuh orang lain, atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.


BAB III PENUTUP


A.  Kesimpulan

Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat.

B.   Saran

Sarannya agar penulis maupun pembaca dapat lebih memahami tentang Hukum Darurat dan mampu menerapkannya di kehidupan nyata.


DAFTAR PUSTAKA


elfira mahmud. 29 Juni 2019. "Prinsip-prinsip Hukum Islam". https://www.kompasiana.com/elfira_mahmud/59547e71e8173e43145dcff2/prinsip-prinsip-hukum-islam?page=all di akses pada tanggal 11 April 2019 pukul 17.51 WITA
Binti_ Khotimah. Desember 2012. "Filsafat hukum islam". http://chotimtutorial.blogspot.com/2011/12/filsafat-hukum-islam.html di akses pada tanggal 11 April 2019 pukul 18.05 WITA
Roni Nuryusmansyah. 26 Desember 2013. "Dalam Kondisi Darurat Hal Yang Terlarang Dibolehkan". https://muslim.or.id/19369-dalam-kondisi-darurat-hal-yang-terlarang-dibolehkan.html di akses pada tanggal 11 April 2019 pukul 18.13 WITA



Fitur Copy saya matikan  jadi silahkan download file wordnya di bawah ini :

  Download
Share This :
anonim

" Jangan merasa lebih baik dari orang lain, Yakin keselamatan itu berada pada yang benar "

0 comments